Rabu, 24 September 2014

Kebudayaan Kota Lama Lawang

Kota Lama Lawang, Malang


KAKI MELENGGANG, MEMBIARKAN IMAJINASI MELEBUR DENGAN PEMANDANGAN DI SEKITAR BANGUNAN KHAS KOTA LAMA.

Kawasan yang berada di belakang kantor Kecamatan Lawang ini begitu khas. Berada di sana membawa kita ke suatu atmosfer masa silam. Bangunan- bangunan yang ada sangat kental suasana colonial. Mengingatkan kita akan nostalgia masa pendudukan bangsa asing negeri ini.
Kehadiran mereka pula membawa budaya asalnya. Itu juga termasuk dalam seni bangunan, walau harus melalui bermacam adaptasi terhadap iklim di sini. Melihat begitu banyak sisa bangunan lama disana, memberi bukti, betapa daerah Lawang ini sangat disukai pada masa itu.
Ragam bangunan yang ada di Lawang-Malang, menurut Dwi Cahyono, sumber Mossaik, bisa disebut dengan Seni Bangun Indis. “Di Lawang walau bukan Ibukota Kabupaten, bisa dibilang memiliki peninggalan bangunan Indis yang cukup banyak. Dan beberapa diantaranya terbilang besar,” ujarnya. Salah satunya Hotel Niagara, yang dari awal berdirinya sudah berfungsi sebagai hotel. Dan di bagian Selatan Lawang juga terdapat tangsi (basis) Militer, tepatnya di daerah Bedali. Dan beberapa yang lain.
Dari sekian jumlah bangunan yang ada berfungsi sebagai rumah tinggal, kantor, penginapan dan fasilitas umum lainnya. Menurut sejarawan asal Malang ini, menunjukkan kalau Lawang memiliki arti penting di masa Kolonial. Beberapa alasan kenapa Lawang dianggap sangat strategis. Pertama, dikelilingi oleh area perkebunan yang dulu juga menjadi perhatian di masa Kolonial. Didukung oleh pemandangan alam, di sebelah Barat panorama gunung Arjuna. Di sebelah Timur juga tampak pegunungan. Hal ini sangat menguntungkan untuk area pemukiman.
Kedua, letak Lawang secara geografis cukup tinggi. Diukur dari permukaan laut, Lawang memiliki ketinggian yang lebih dibandingkan dengan kota Malang. Hal ini memberi dampak kota Lawang mempunyai hawa lebih sejuk. Ini sangat cocok sebagai tempat peristirahatan, yang sangat disukai oleh orang asing seperti kebanyakan di beberapa tempat di negeri ini.
Ketiga, Lawang dinilai berada di posisi strategis, baik dari sisi ekonomi hingga akses perhubungan. Hal ini karena merupakan jalur poros Surabaya-Malang. Hal ini pula yang sangat mendukung wilayah yang ditengarai berkembang di akhir abad ke-18 itu. Kondisi bangunan kuno yang ada di Lawang dinilainya lebih menguntungkan dibandingkan dengan bangunan yang ada di Malang. Dua alasan yang melatarinya, pertama secara fisik bentuk bangunannya relatif asli. Kedua, bangunan lama yang ada relatif belum banyak yang mengalami alih fungsi, yang biasanya disertai dengan perubahan bentuk menyesuaikan fungsinya yang baru. Memang di Lawang bangunan lama yang ada masih kebanyakan berupa rumah tinggal.
Dwi Cahyono menyayangkan beberapa hal. Salah satunya kekayaan budaya tersebut belum ditangkap sebagai aset oleh pemerintah Kabupaten Malang. Baik untuk tujuan wisata maupun studi, sehingga yang terjadi sekarang pemerintah tidak mempunyai data base yang berkaitan dengan inventarisasi bangunan peninggalan budaya kolonial tersebut.
“Sebenarnya Lawang bisa menjadi alternatif tujuan wisata potensial di Kabupaten Malang, setelah Batu. Tinggal bagaimana kita mengemasnya saja,” jelas pria 43 tahun ini. Kalau dibandingkan dengan bangunan lama yang ada di Kota Malang sendiri, baik dari segi keragaman bentuk, ukuran, dan kegunaanya, memang lebih banyak di Malang. Tapi, menurut Dwi Cahyono lagi, bukan berarti yang sedikit itu kurang baik. Jadi walaupun sedikit tetap mengandung potensi.
Bila kawasan itu digarap, tampaknya tidak akan terlalu mengganggu jalur hubungan Surabaya-Malang. Memperhatikan lingkungan sekitarnya, dan kondisi bangunan yang ada, sangat mungkin atmosfernya untuk menjadi Old City. “Walau mungkin butuh upaya lebih keras,” tukas Dwi Cahyono yang juga tergabung dalam Malang Heritage Society (MHS) pada Divisi Seni Budaya.
Ada sepercik ide, bayangkan bila di Lawang dibuat Kawasan Indis. Lokasi-lokasi yang mempunyai bangunan Indis relatif terkonsentrasi di satu kawasan.
Dalam pengembangannya atau bila reneana ke sana terealisasi kelak. Bangunan-bangunan yang akan dikelola harus disadari adalah bangunan Cagar Budaya. Ini berarti akan terkait dengan UU No. 5/tahun 1992 yang tetap harus ditaati. Sehingga pengemasannya kawasan tersebut tidak menyebabkan kerusakan.
Di Lawang bangsa Kolonial banyak tinggal dengan masyarakat lokal. Interaksi mereka lebih dekat dengan pribumi. Pertanyaannya: Bila Lawang akan dibentuk menjadi Kawasan Wisata Budaya Bernuansa Indis, apakah masyarakatnya sudah siap? Yang pasti hal ini perlu dilakukan studi kelayakan, jauh sebelum semua dilaksanakan.
Lokasi yang terdapat koleksi bangunan kuno kebanyakan mengelompok dan berhimpit, menjadikan proyeksi ke arah aspek wisata membutuhkan pertimbangan yang sangat matang. Dan kesepakatan mengarah ke sana harus disiapkan bersama. Jadi yang penting adalah melakukan pemetaan.
MHS yang dideklarasikan sejak 18 Maret 2003 silam, selalu melakukan pendekatan kepada pemerintah kabupaten untuk pengembangan di tingkat kawasan. Yang menjadi prioritas MHS untuk tahun 2006 sebenarnya bukan pada pengembangan kawasan wisata, tetapi lebih pada, pertama, Inventarisasi seluruh seni bangunan Indis. Kedua, dokumentasi, ketiga, melakukan registrasi & identifikasi, sekaligus menetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
“Memang kami tidak lang sung mengarah pada pengembangan kawasan, Lawang misalnya. Tetapi kami lebih ingin memberikan penyadaran. Sehingga di masa mendatang kita bisa bersama-sama menjalankan program yang terkait dengan pusaka budaya itu,” jelas dosen sejarah di fakultas Sastra Universitas Negeri Malang ini.  - az alim/foto : m ismuntoro

sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/2012/06/02/kota-lama-lawang-malang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar